Minggu, 15 Januari 2017

sejarah



1.     PERANG TORNADO (1808-1809)

Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqcUdyipwY1XewrHLc2Wcj1wD5GzaY_SI0C73RLiDFQHUGDp-s5XfqabLY7_DutTMuK4xfoxU3N8_79iOvOXV__w9ISHZBj7egPrqfHHC1DYxbXAlIaZaNr1vp4EjIV5Qcb4OKE_RtFLY_/s1600/perang+tondano.png
Perang Tondano I

Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.

Perang Tondano II

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandate untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.  Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orangorang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan colonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.[ki]

2.     PATTIMURA ANGKAT SENJATA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3dpjasXqHepBS-wdpK352SD4EE6jabQilStYMFcQ-V2TG2jFY8Mg4csOCLXiFTN_kR26dWYr53wSygBMYtTAgCBneVGZCufVYufYr1U5p48T0vrG0e5YxbvV6rGLrPuSE9i9q_8pBEWE/s1600/uang.png












Pattimura  (1817) Belanda melakukan monopoli perdagangan dan memaksa rakyat Maluku menjual hasil rempah-rempah hanya kepada Belanda, menentukan harga rempah-rempah secara semena-mena, melakukan pelayaran hongi, dan menebangi tanaman rempahrempah milik rakyat. Rakyat Maluku berontak atas perlakuan Belanda. Dipimpin oleh Thomas Matulessi yang nantinya terkenal dengan nama Kapten Pattimura, rakyat Maluku melakukan pada tahun 1817. Pattimura seorang pejuang wanita Christina Martha Tiahahu. Perang melawan Belanda meluas ke berbagai daerah di Maluku, dibantu oleh Anthony Ribok, Philip Latumahina, Ulupaha, Paulus Tiahahu, dan seperti Ambon, Seram, Hitu, dan lain-lain. Belanda mengirim pasukan besarbesaran. Pasukan Pattimura terdesak dan bertahan di dalam benteng. Akhirnya, Pattimura dan kawan-kawannya tertawan. Pada tanggal 16 Desember 1817,Pattimura dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.Setelah itu Pattimura melanjutkan peperangan di saparua Perlawanan pasukan Pattimura pada tahun 1829 di Saparua merupakan kelanjutan Perang Pattimura 1817. Sebab musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi pasukan Pattimura untuk melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah minum sumpah (angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama) untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka kagumi dan ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan hidup atau mati untuk perjuangannya.

 Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya mati digantung di depan benteng Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati dalam mengatur strategi. Organisasi pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat karena telah diawasi secara ketat melalui Stb. 1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu-satunya wadah yang dapat dijadikan sebagai kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi adalah organisasi tradisional masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang lepas dari pengamatan Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut  Latukewano atau raja hutan, pengelola disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana Kewano atau anak Kewang. Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang) berhubungan secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling menyampaikan dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering mengadakan rapat di hutanhutan. Hasil pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap yang sama terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak dicurigai. Tatkala terdengar berita bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah saat yang tepat untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak mau meninggalkan tanah tumpah darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan komunikasi dengan para Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan berita ini kepada pasukan Pattimura di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette dan Tourissa Tamaela. Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan Belanda juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di pulau Saparua. Rapat-rapat makin diintensifkan antara lain di rumah Izaak Pollatu, kemudian di Marsma apulette. Mereka membahas surat dari serdadu di Ambon dan sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat yang ditujukan untuk raja Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya rahasia perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah pengamanan dan menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun mempersiapkan rencana itu. Perlawanan pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829 yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal. Mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di daerah ini berakhir di sini.

3.    PERANG PADRI

Perang padri terjadi di tanah minabgkabau,sumatera Barat pada tahun 1821-1837.Perang ini di gerakkan oleh para pembaru islam yang sedang konflik dengan kaum adat.Perang padre sebenarnya merupakan perlawanan kaum padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat.Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum padre dengan kaum adat.Adanya pertentangan padre dengan kaum adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan belanda. Perlu di pahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama islam,tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai ajaran Islam.Sejak akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dari kampong kota tua di daratan agam.Karena berasal dari kampong kota tua,maka ulama itu terkenal dengan nama Tuanku kota Tua.Tuanku kota tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik aganma islam.DEngan melihat realitas kebiasaan masyarakat,Tuanku kota tua menyatakan bahwa masyarakat minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran islam.Ia menunjukan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan al-qur’an dan sunah nabi.Kemudian pada tahun 1803 datnglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci mekkah,yakni: Haji Miskin,Haji Sumanik,dan Haji piabang.Orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian pelaksanaan ajaran islam di Minangkabau itu sering di kenal  dengan kaum Padri.Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran islam,kaum padre menentang praktk berbagai adat dan kebiasaan kaum adat yang memang dilarang dalam ajaran islam seperti berjudi,menyabung ayam,minim-minuman keras.Kaum adat   yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum padri.Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak.Timbulah bentrokan antara keduanya.Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai resider di Minangkabau.Pada tanggal 10 Februari 1821,Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh adat,Tuanku Surwaso dan 14 penghulu minangkabau.Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian di duduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 februari  1821, belanda yang telah di beri kemudahan oleh kaum adat berhasil menduduki simawang. Di daerah ini telah di tempat kan dua meriam dan 100 orang serdadu belanda.
Tindakan belanda ini di tentang keras oleh kaum padri, maka tahun 1821 itu meletus kan perang padri.Perang padri di Sumatra barat ini dapat di bagi dalam tiga fase.
Fase pertama (1821-1825).Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum padre, maka belanda mengambil strategi damai. Oleh Karena itu, pada tanggal 26 januari 1824 tercapai lah perundingan damai antara belanda dengan kaum padre di wilayah alahan panjang. Perundingan ini di kenal dengan perjanjian masang. Tuan ku imam bonjol juga tidak keberatan dengan ada nya perjanjian damai tersebut. Akan tetapi belanda justru di manfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah lain. Dengan demikian perlawanan kaum padre masih terus berlangsung di berbagai tempat.Fase kedua(1825-1830)            Kaum padre tidak begitu menghiraukan ajakan damai dari Belanda , karena belanda sudah biasa bersifat licik. Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan arab yang bernama sulaiman aljufri menemui imam ku tuan bonjol agar bersedia berdamai dengan belanda. Tuan ku imam bonjol menolak. Kemudian menemui tuan ku lintau ternyata merespon ajakan damai itu. Hal ini juga di  dukung tuanku nanrenceng . itulah sebabnya pada tanggal 15 november 1825 di tanda tangani perjanjian padang.

Isi perjanjian itu antara lain:

1) Belanda mengakui kekuasan pemimpin padre di batu sangkar, saruaso, padang guguk          sigandang, agam, bukit tinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerah nya.
2) kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
3) kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukanperjalanan.
4) secara bertahap belanda akan melarang praktik adu ayam.
Fase ketiga(1830-1837/1838)          Pada pertempuran fase ketiga ini kaum padre mulai mendapatkan simpati pada kaum adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatra barat akan meningkat. Orang-orang padre yang mendapatkan dukungan kaum adat itu bergerak ke pos-pos  tentara belanda.kaum padre dari bukit kamang alam dan bukit tinggi. Tindakan kaum padre itu di jadikan belanda di bawah gilafri untuk menyerang koto tuo di ampek angket, serta membangun sebuah benteng pertahanan dari ampang gadang sampai ke biaro.

4.     PERANG DIPONEGORO

Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo, putra Sultan Hamengku Buwono III. Karena pengaruh Belanda sudah sedemikian besarnya di istana maka Diponegoro lebih senang tinggal di rumah buyutnya di desa Tegalrejo.                                                                                                  

 Secara umum sebab-sebab perlawanan Diponegoro dan para pengikutnya adalah sebagai berikut:
·        Adat kebiasaan keraton tidak dihiraukan para pembesar Belanda duduk sejajar dengan Sultan.
·        Masuknya pengaruh budaya Barat meresahkan para ulama serta golongan bangsawan. Misalnya          pesta dansa sampai larut malam, minum-minuman keras.
·       Para bangsawan merasa dirugikan karena pada tahun 1823 Belanda menghentikan sistem hak sewa      tanah para bangsawan oleh pengusaha swasta. Akibatnya para bangsawan harus mengembalikan        uang sewa yang telah diterimanya.
·       Banyaknya macam pajak yang membebani rakyat misalnya pajak tanah, pajak rumah,pajak ternak.

.Selain hal-hal tersebut ada kejadian yang secara langsung menyulut kemarahan Diponegoro yaitu pemasangan patok untuk pembuatan jalan kereta api yang melewati makam leluhur Diponegoro di Tegal Rejo atas perintah Patih Darunejo IV tanpa seijin Diponegoro. Peristiwa tersebut menimbulkan sikap terang-terangan Diponegoro melawan Belanda.                 
Bagaimana proses perlawanan yang dilakukan Diponegoro? Diponegoro memusatkan pertahannya di bukit Selarong, sementara itu keluarganya diungsikan ke daerah Deksa. Perlawanan Diponegoro diikuti oleh para petani, para ulama maupun bangsawan. Pengikut Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dari Surakarta, Kyai Hasan Besari dari Kedu. Pertempuran meluas sampai di Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun dan Pacitan. Selain dukungan dari para Bupati juga didukung oleh Panglima perang berusia muda yaitu Sentot Ali Basa Prawiradirjo. Pada tangal 30 Juli 1826 Pasukan Diponegoro memenangkan pertempuran di dekat Lengkong dan tanggal 28 Agustus 1826 di Delanggu. Oleh rakyat, pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan dengan gelar “Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo”.        
Bagaimana siasat Belanda untuk mematahkan perlawanan Diponegoro? Menghadapi perang gerilya yang dilakukan pasukan Diponegoro Belanda menggunakan taktik benteng stelsel. Apa tujuan Belanda? Benteng stelsel adalah taktik yang dilakukan dengan cara mendirikan benteng sebagai pusat pertahanan di daerah yang didudukinya untuk mempersempit ruang gerak perlawanan Diponegoro . Selain itu Jendral De Kock menetapkan Magelang sebagai pusat kekuatan militernya. Siasat ini cukup berhasil, beberapa pengikut Diponegoro tertangkap dan menyerah. Kyai Mojo berunding dengan Belanda tanggal 31 Oktober 1828. Tindakan Belanda berikutnya adalah membujuk para pengikut Diponegoro untuk menyerah dan berhasil antara lain terhadap Mangkubumi. Sentot Ali Basa Prawirodirjo menyerah dan menandatangani perjanjian Imogiri bulan Oktober 1829.           
 Bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Dipdonegoro? Mula-mula Belanda mengumumkan pemberian hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada siapa saja yang dapat menyerahkan Diponegoro dalam keadaan hidup atau mati. Hal ini tidak berhasil, maka ditempuh cara berikutnya melalui perundingan. Pertemuan pertama tanggal 16 Februari 1830 di desa Romo Kamal oleh Kolonel Cleerens. Perundingan berikutnya tangal 28 Maret 1830 di kediaman Residen Kedu. Perundingan gagal bahkan Diponegoro kemudian ditangkap dan ditahan di Batavia, selanjutnya tanggal 8 Januari 1855 dibawa ke Makasar.Dengan tertangkapnya Diponegoro berakhirlah perang Diponegoro. Perang ini cukup merepotkan keuangan Belanda karena menelan biaya perang yang cukup besar.

                       
5.  PERLAWANAN DI BALI

Perlawanan di Bali
Bali adalah sebuah pulau kecil yang terkenal di Indonesia. Pada abad ke 19 bali belum banyak menarik perhatian orang-orang. Baru tahun 1830 pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya. Perkembangan dominasi belanda menyulut api perlawanan rakyat bali “perang puputan”.
Mengapa terjadi perang puputan di bali?
Abad ke 19 bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan berdaulat. Contohnya Kerajan Buleleng dll. Pada masa Gubernur Jenderal Daendels ada kontak dengan kerajaan bali menyangkut hubungan dagang dan sewa. Tapi Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di bali. Pertama G.A Granpre moliere misi ekonomi, kedua huskus koopman misi politik. Misi ekonomi jauh lebih berhasil dari pada misi politik namun terus di usahakan dan di capai perjanjian antara raja bali dan belanda.perjanjian kontrak antara raja-raja bali dengan belanda seputar hukum tawan karang agar di hapuskan.
Karena kelihaian belanda raja-raja bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan hukum tawan karang.tahun 1844 raja Buleleng dan Karang Asem belum melaksanakan perjanjian tersebut dibuktikan dengan perampasan atas isi 2 kapal belanda yang terdampar dipantai sangsit (Buleleng) dan Jembrana (buleleng ) . belnda memaksa raja Buleleng untuk melaksanakan perjanjian tersebut,benda juga memaksa untuk membayar ganti rugi antas kapal belanda. Pihak buleleng menolak dengan tegas tuntutan tersebut yang menyebabkan perang terjadi. Pati Ktut Jelantik mempersiapkan pos-pos dan prajurit . buleleng juga mendapat dukungan dari kerajaan karang asem dan klungkung. Tanggal 27 juli 1846 1.700 pasukan barat menyerbu kampung-kampung tepi pantai  ada juga pasukan laut dengan kapal selam. Karena persenjataan belanda lebih lengkap dan modern pejuang buleleng demakin terdesak dan jebol . ibu kota singaraja dikuasai belanda.
Kemudian belanda mendesak untuk menandatangani perjanjian tanggal 6 juli 1846 yang isinya :
 1.dalam waktu 3 bulan,raja buleleng harus menghancurkan semua benteng buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru,
2.raja buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan belanda,sejumlah 75.000 gulden,dan raja harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah belanda,3. Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tipu daya dilakukan oleh rakyat bali untuk berpura-pura menerima isi perjanjian itu. Tapi dibalik itu raja dan patih ketut jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun pertahanan yang kuat bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga mempertahankan hukum tawan karang. Tahun 1847 kapal-kapal asing terdampar dipantai kusumba Klungkung,dirampas oleh kerajaan, hal itu menimbulkan amarah Belanda.belanda memaksa untuk melaksanakannya tapi raja-raja bali tidak menghiraukan rakyat justru dipersiapkan untuk berperang.
Tanggal 7 dan 8 juni 1848 mendarat bala bantuan belanda. Tanggal 8 juni serangan di jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara belanda J.van Swieten, Letkol Sutherland benteng jagaraga dimulai namun dengan pertahanan gelar-supit urang berhasil menjebak Belanda. Pasukan Belanda ditarik mundur. Kekalahan itu menyakitkan perasaan pimpinan belanda, kemudian terjadi serangan balasan awal april 1849 datang serdadu belanda dalam jumlah belanda besar. Tanggal 15 april 1849 seranggan Belanda dimulai di jagaraga ,tanggal 16 April Jagaraga berhasil dilumpuhkan belanda
Terbunuhnya raja buleleng dan Patih Ketut Jelantik jatuhlah Kerajaan Buleleng. Menyusul karang asem yang ditakhlukan 18 mei 1849. Pertempuran terus terjadi. Tahun 1906 perang puputan terjadi di Bandung, tahun 1908 perang Puputan di Klungkung.


6. PERANG  BANJAR
Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia. Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan perang Padrinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhB_0ofbGPXTbY-b4fOLDhzgABKzoJFoQdFetqEfvkQPdTrg_iFRdWSBaqFXHP3EAaCd_vEFrFHVi_Fu3r940bsTnwJxQUA3hI5emVTTrIPTqC1TC03y_rCc9LUH6kMcuiGY3nzzwJd2Lw/s320/Perang+Banjar.jpg



Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.

Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.

Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggris.

Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.

Pangeran Nata Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.

Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang besar, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC.

Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :

a. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.

b. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Pantuil,
- Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
- Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah,
- Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak,
- Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan,
- Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya,
- Tanah Mandawai,
- Sampit,
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya,
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
- Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan,
- Negeri-negeri di pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.

c. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
d. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.

e. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,
- Padang Bajingah,
- Padang Penggantihan,
- Padang Munggu Basung,
- Padang Taluk Batangang,
- Padang Atirak,
- Padang Pacakan,
- Padang Simupuran,
- Padang Ujung Karangan.
Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu manjangan.

f. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.

Gambaran umum abad ke-19 bagi kerajaan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdauat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.


7. ACEH BERJIHAD
Aceh dikenal karena adanya tsunami tahun 2004 dan seburtan serambi mekkah. ibarat serambi mekkah merupakan daerah dan kerajaan yang berdaulat. Tetapi kedaulatan terganggu karena keserakaan dan dominasi belanda.dominasi dan kekejaman tersebut melahirkan Perang Aceh, perang terjadi pada tahun 1873-1912
  a.Latar Belakang Perang Aceh
Aceh memiliki kedudukan yang strategis juga menjadi pusat perdagangan. Daerahnnya luas dengan hasil penting seperti ladang, hasil tambng, dan hasil hutan.karena itu dalam rangka mewujudkan pax neerlandica belanda berambisi menguasai aceh.tetapi orang aceh dan para sultan bersikeras mempertahankan aceh hal tersebut di dukung oleh traktat london hal tersebut menjadi kendala belanda. Perkembangan politik yang semakin memohok kesultanan aceh adalah ditandatanganinya traktat sumatera antara belanda dengan inggris 2 november 1871. isi traktat tersebut antara lain inggris memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya diseluruh sumatera. Tahun 1873 Aceh mengirim Habib Abdurahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata.
Langkah-langkah tersebut diketahui ole pihak belanda, kemudian Belanda mengancam dan mengultimatum agar Kesultanan Aceh tunduk dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Tanggal 26 maret 1873 Aceh dinilai membangkang. Kemudian pecahlah pertempuran aceh melawan Belanda. Para pejuang aceh dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah II mengobarkan semangat jihad angkat senjata untuk melawan kezaliman Belanda.
Persiapan acehalam menmghadapi pemerintahan Hindia Belanda seperti pendirian pos-pos pertahanan,dibangun kuta semacam benteng untuk memperkuat pertahanan wilayah, penyiapan sejumlah pasukan dan persenjataan.
b.Syahid atau Menang
Agresi belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara belanda dibawah pimpinan jendral Mayor J.H.R kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. Pasukan aceh terdiri dari ulebalang ulama,dan rakyat terus mendapat gempuran dari Belanda. Tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit dibawah pimpinan Teuku Imeung lueng bata melawan tentara belanda dibawah pimpinan kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturahman. Pasukan tersebut bershasil mengalahkan kohler dibawah pohon. Kemudian pon tersebut dinamakan Kohler Boom.
Setelah melipatgandakan kekuataanya tanggal 9 Desember 1873 belanda melakukan serangan atau agresi yang kedua. Dipimpin oleh J.van Swieten. Tanggal 6 Januari 1874 masjid tersebut dibakar. Tanggal 15 januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah dikosongkan sultan mahmud syah. Tanggal 28 januari sultan mahmud syah meninggal dunia karena penyakit kolera.
Dengan jatuhnya masjid Baiturahamn Belanda mengakui bahwa Aceh merupakan daerah kekuasann belanda, namun Aceh tidak peduli. Dan Pada tahun 1884 mereka mengangkat putra mahkota muhammad daud syah sebagai sultan Aceh. Semangat juang semakin meningkat seiring pulangnya Habib Abdulrahman dari turki tahun 1877. Kemudian belanda menambah kekuatannya dan berhasil mendesak pasukan Habib Abdulrahman.
c.Perang Sabil
tahun 1884 muhammad daud syah telah dewasa dan dinobatkan sebagai sultan. Pada waktu upacra penobatan ini para pemuka Aceh memproklamirkan “ikrar prang sabil’ ( prang sabil). Dengan perang sabil perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Di Aceh bagian barat tampil teuku umar bersama istrinya cut nyak dien. Pertempuran sengit terjadi dimeulaho. Beberapa por pertahan berhasil direbut umar. Strategi konsentrasi stelsel belum efektif menghentikan perang Aceh. Tahun 1891 teungku cik di tiro meninggal, tahun 1893 teuku umar menyerah pada belanda. Pada 29 maret 1896 teuku umar berbalik melwan belanda.
 Peristiwa itu membuat belanda semakin marah dan geram. Snouck horgronye agar melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang rakyat aceh. Oleh karena itu snouck horgronye  mengusulkan beberapa cara:
  1. Perlu memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat aceh, sebab di lingkungan aceh terdapat rasa persatuaan antara kaum bangsawan,ulama dan rakyat.
  2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan,yaitu dengan kekuatan senjata
  3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk kedalam korps pamong praja dalam pemerintahan konial Belanda.
Genderang perang dimulai tahun 1899.perang ini berlangsung selama 10 tahun. Oleh karena itu selama 10 tahu terakhir 1899-1909 di aceh disebut masa sepuluh tahun berdarah (Tien bloedige jaren). Karena tekanan yang terus menerus januari 1903 sultan Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Cara licik ini berhasil dan digunakan untuk mematahkan perlawanan panglima pop. lem dan tuanku raha keumala. Tanggal 6 September panglima polem juga menyarah. Tahun 1906 Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dibuang di Sumedang, Jawa Barat dan meninggal tanggal 8 November 1908. Pada tahun 1911 tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati.
Pada tanggal 26 september 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Perang aceh berakhir pada tahun 1912 namun sebenarnya perang itu berakhir pada tahun 1942.

8. SEJARAH PERANG BATAK / SISINGAMANGARAJA


Sejak Belanda mencerngkramkan kekuasaannya di Nusantara, sejak saat itu pula kehidupan masyarakat Nusantara ditentukan oleh keadaan politik yang terjadi di negeri Belanda dan Eropa. Berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Belanda, semata-mata semuanya adalah untuk mencari keuntungan untuk pihak Belanda sendiri, sedangkan rakyat Indonesia yang dikuasai mengalami penderitaan yang cukup hebat karena harus menanggung kebijakan yang menyengsarakan tersebut.
Selain melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya di tanah jajahan, Belanda juga melakukan politik Pax Nederlandica dan mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris. Kedua hal tersebut dilakukan Belanda dalam rangka melanggenkan kekuasaannya di Nusantara. Maka beragam reaksi perlawan dilakukan oleh rakyat atas kebijakan Belanda yang menyengsarakan tersebut dan proses kristenisasi yang dianggap sebagai sebuah hal yang bertentangan bagi rakyat Indonesia yang pada saat itu sudah mempunyai agama. Perlawanan tersebut biasanya dipimpin oleh para pemimpin lokal yang kebanyakan khawatir dengan politik Pax Nedelandica yang akan merongrong daerah kekuasaannya.




Diantara banyak perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia beserta pemimpinnya, salah satunya adalah perlawanan Tapanuli atau perang Tapanuli biasa disebut dengan perang Batak yang berlangsung selama 29 tahun dengan tokoh terkenalnya yaitu Sisingamangaraja XII. 

  •          Sisingamangaraja XII


Sisingamangaraja XII adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional tanggal 19 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sisingamangaraja XII memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di Bakkara, Tapanuli, Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan Ibunya bernama Sisingamangaraja XI (Ompu Sohahuaon) dan Boru Situmorang. Ayahnya wafat pada tahun 1876, sehingga Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19 tahun. Gelarnya adalah Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja berasal dari tiga kata, yaitu ‘si’, ‘singa’, dan ‘mangaraja’. ‘Si’ adalah kata sapaan, ‘singa’ merupakan bahasa Batak yang berarti bentuk rumah Baka, sedangkan ‘mangaraja’ sama maksudnya dengan kata ‘maharaja’. Jadi Sisingamangaraja berarti Maharaja orang Batak.
Ada dua versi tentang asal-usul Sisingamangaraja dan kerjaan Batak. versi pertama mengatakan Sisingamanagaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling ke Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Sedangkan versi kedua berasal dari mitos rakyat yang diceritakan dalam berbagai versi lagi, namun secara garis besar versi itu menyatakan Manghuntal (Sisingamanagaraja I) adalah keturunan Bona Ni Onan bermarga Sinambela. Sebelum kelahirannya Sisingamaraja I telah diramalkan bahwa ia adalah titisan dari Batara Guru dan akan menjadi seorang raja besar. Setelah dewasa Manguntal akhirnya menjadi raja setelah berhasil mencabut keris yang bernama Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal). Piso Gaja Dompak dinyakini tidak akan bisa dicabut dari sarungnya oleh seseorang yang tidak memiliki kesaktian, kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang yang menjadi titisan Batara Guru (orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi Raja). 
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.

  •          Jalannya Perang Batak

Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala.
 Karena Belanda selalu unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua. Mereka dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini dapat dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun Belanda juga menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga Belanda terpaksa mengurangi kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII karena untuk menghindari berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam peperangan. Pada tanggal 8 Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII kembali menyerang Belanda. Seorang prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu. Namun Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang, sehingga Lobu Talu dapat direbut kembali. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong diduduki oleh Belanda. Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran. Pasukan Belanda terus mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di Tamba, terjadi pertarungan sengit. Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus menerus dengan peluru dan altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke daerah Horion. Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan perlawanan di seluruh Sumatra Utara. Kemudian untuk menanggulanginya, Belanda berjanji akan menobatkan Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII tegas menolak iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri. Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain. Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan Sisingamangaraja dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan. Gugurnya  XII merupakan pertanda jatunya tanah Batak ke tangan Belanda.
  •      Akhir  Perang

Yang awalnya pasukan Si Singa Mangaraja masih melakukan perlawana namun tahun 1900 kekuatan Si Singa Mangaraja semakin surut. Sehingga perlawanna tidak dikerahkan untuk melakukan penyerangan sebanyak mungkin melainkan memperthankan diri dari serangan lawan selain penduduk daerah Dairi dan Pak – Pak Masih setia kepada mereka.
Selain itu  Belanda juga melakukan gerakan pembasmi gerakan – gerakan perlawanan  yang ada diSumatera ( Aceh dan Batak). Operasi diketuai oleh Overste Van Daelan yang bergerak dari Aceh terus ke Batak. Mereka mengadakan pengepungan dan mebakar kamung – kampung yang membangkan pertempuran semakin sengit antara kedua belah pihak.  Pada saat Belanda sampai di daerah pak – Pak dan Dairi  pasukan Si Singa Mangaraja semakin terkepung sedangkan di lain pihak hubungan mereka dengan Aceh sudah terputus. Denga terdesaknya  pasukan Si Singa Mangaraja merka terus berpindah – pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk menyelamatkan diri. Tahun 1907 pengepungan yag dilakukan oleh Belanda terhadap pasukan Si Singa Mangaraja dilakukan secara intensif  yang dipimpin oleh Hans Christoffel.
Dimulai menelusuri jejak Si Singa Mangaraja oleh Belanda namun merak gagal menangkap Si Singa Mangaraja dan anak istri Si Singa Mangaraja ditawan oleh Belanda. Boru Situmorang ibu Si Singa Mangaraja tertangkap dan dijadikan tawanan perang oleh Belanda sementara itu Si Singa Mangaraja belum juga mneyerahkan diri dan belanda terus mencari  sampai tanggal 28 Mei pihak belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Barus  maka Wenzel menarahkan pasukan untuk menangkapnya tetapi tidak berhasil.   
Pada 4 Juni 1907 pihak Belanda mengetahui bahwa Si Singa Mangaraja berada di Penegen dan Bululage dan mereka melakukan pengerebekan  melalui Huta Anggoris  yang tak jauh dari panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah meninggalkan tepat itu sebelum mereka datang. Si Singa Mangaraja terus menyikir ke darah Alahan  sementara itu Belanda terus mengejar melalui kampung Batu Simbolon, Bongkaras dan Komi. Banyak penduduk sekitar ditangkap karena dicurigai bekerjasma dengan Si Singa Mangaraja. Berbagai usaha yang dilakukan Belanda tanggal 17 jJuni 1907 Si Singa Mangaraja berhasil ditangkap  didekat Aik Sibulbulon ( derah Dairi ) dalam keadaan lemah Si Singa Mangaraja dan pasukanya terus mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa Si Singa Mangaraja tertebak oleh Belanda sehingga pada saat itu Si Singa Mangaraja mati terbunuh ditempat. Disaat yang bersamaan anak perempuan dan dua putra laki – lakinya juga gugur sedankan istri, ibu  dan putra – putra masih menjadi tawana perang oleh Belanda.  dengan gugurnya Si Singa Mangaraja maka seluruh daerah Batak menjadi milik Belanda. Sejak saat  itu kerja rodi didaerah ini meraja lelah struktur tradisional masyarakat semaki lama semakin runtuh.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar